Sumber-Sumber Sejarah Mengenai Masuknya Pengaruh Islam di Indonesia

 a. Keterangan dari Para Pedagang Arab 

Masuknya agama Islam kali pertama ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Berita-berita dari bangsa asing menunjukkan bahwa bangsa Arab dan Persia telah mengenal Kerajaan Maritim Sriwijaya pada abad ke-9. Abad tersebut merupakan abad permulaan orang-orang Islam menguasai jalur dagang laut ke arah timur. 


Menurut keterangan Ibnu Hordadzbeth (844-848 M), pedagang Sulayman (902 M), Ibnu Rosteh (903 M), Abu Zayid (916 M), ahli geografi Mas'udi (955 M), Kerajaan Sribuza (Sriwijaya) berada di bawah kekuasaan Raja Zabag yang menguasai jalur dagang dengan Kerajaan Oman. Dari Sribuza, para pedagang Arab memperoleh kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, kayu hitam, kayu sapan dan rempah-rempah, seperti cengkeh, lada, dan pala. Dengan demikian, para pedagang Sriwijaya abad ke-9 sampai abad ke-13 bukan hanya berdagang dengan para pedagang Cina dan India, melainkan juga dengan pedagang Arab dan Persia. 


Sumber tersebut dapat dipercaya kebenarannya. Alasannya bahwa para pedagang Arab sudah berhubungan dengan Kerajaan Sriwijaya sebagai Kerajaan maritim yang kegiatan ekonominya adalah perdagangan. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa banyak para pedagang asing yang menetap untuk sementara di Sriwijaya menunggu musim yang tepat untuk berlayar kembali.


Di antara pedagang-pedagang tersebut adalah orang Arab dan Persia yang telah beragama Islam. Sangat mungkin bahwa melalui kontak bisnis terjadi pula kontak budaya dan agama. Dari interaksi antar pedagang tersebut dapat diketahui telah ada rasa saling menghargai antara budaya dan agama yang berbeda. Hal ini mencerminkan sikap toleransi di antara para pedagang. 


b. Keterangan dari Marcopolo 


Para penganut Islam di Indonesia semakin banyak pada abad ke-13. Keterangan dari Marcopolo yang melakukan perjalanan pulang dari Cina menuju Persia dan singgah di Perlak pada 1292 menyebutkan telah ada Kesultanan Islam di Tumasik dan Samudra Pasai. Kedua kerajaan tersebut menguasai perdagangan di Selat Malaka dan masih mengakui kedaulatan Majapahit. Kedua kerajaan itu juga memiliki pelabuhan-pelabuhan dagang penting untuk mengekspor lada ke Gujarat dan Benggala dan menampung barang-barang dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa seperti Gresik, Tuban, dan Banten. Dengan demikian, pelabuhan-pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh para pedagang dari Gujarat, Benggala, dan Jawa. 


Di antara pelabuhan penting di jalur dagang internasional yang melalui Selat Malaka dan berkembang menjadi Kesultanan Islam besar adalah Malaka. Pelabuhan ini mulai ramai pada abad ke-12 M, ketika Majapahit masih memiliki hegemoni di kawasan tersebut, dan ketika para pedagang Islam dari berbagai bangsa sudah melakukan perdagangan dengan pedagang di kawasan ini. 


c. Berita dari Tome Pires 


Menurut berita seorang Portugis bernama Tome Pires, Pelabuhan Malaka ramai dikunjungi para pedagang dari Barat, seperti Kairo, Mekkah, Aden, Abesenia, Kiliwa, Malindi, Ormus, Persia, Turki, Armenia, Gujarat, Goa, Malabar, Keling, Orisa, Sailan, Benggali, Arakan, Pegu, dan Kedah.


Pedagang dari Timur berasal dari Siam, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, dan Cina. Pedagang dari Nusantara berasal dari Tanjungpura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar, Minangkabau, Siak, Aru, Batak, Pasai, dan Pedir. 


Sambil menunggu proses pengangkatan barang ke kapal dan pembongkaran barang dari kapal serta menunggu musim yang baik untuk berlayar, para pedagang tersebut menetap untuk beberapa lama di Kota Malaka. 


Bertemunya para pedagang dari negeri-negeri Arab, Persia, Gujarat, dan Benggala dengan pedagang dari Indonesia berpengaruh terhadap terciptanya pertukaran pengalaman, kebudayaan dan peradaban di antara mereka. Pertemuan ekonomi antar pedagang tersebut merupakan sarana yang paling penting dalam proses Islamisasi di Indonesia. Para pedagang Indonesia yang terbuka terhadap pengaruh asing banyak belajar dari para pedagang lain mengenai kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan agama Islam. Dari mereka, Islam menyebar ke seluruh penduduk yang tinggal di pelabuhan-pelabuhan serta pesisir. 


d. Keterangan dari Batu Nisan Sultan-Sultan Islam 


Batu nisan sultan-sultan Indonesia memberi keterangan mengenai pengaruh Islam yang masuk ke Indonesia. Dari bentuk batu serta tulisan dalam batu nisan diperoleh keterangan bahwa pengaruh Gujarat dan Benggala cukup dominan dalam kebudayaan Islam di Indonesia.


Para pedagang Indonesia yang berdagang di Malaka lebih banyak hubungan dengan pedagang dari Gujarat dan Benggala dibandingkan dengan pedagang dari Arab atau Persia. Dengan demikian, pengaruh kebudayaan Islam dari Gujarat pun lebih besar dibandingkan dengan pengaruh kebudayaan Islam yang berasal dari kalangan pedagang Arab dan Persia. 



Bukti-bukti adanya pengaruh Islam dari Gujarat di Indonesia dapat lihat pada jirat atau batu nisan makam yang ditemukan di Sumatra dan Jawa. Beberapa makam tersebut adalah sebagai berikut. 

  1. Makam Sultan Malik al-Saleh (1297 M). Sultan ini dianggap sebagai pendiri Kesultanan Samudra Pasai. 
  2. Jirat yang menggunakan ornamen (hiasan) Gujarat terdapat pada nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. 
  3. Di daerah lainnya di Jawa, batu nisan atau jirat yang khas Gujarat diperkirakan dibuat pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu di Troloyo dan Trowulan. Jirat tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pemeluk Islam sudah ada di Kerajaan Majapahit dan kebudayaan Islam yang dianut mendapat pengaruh kebudayaan Gujarat. 

Sejarawan Cina bernama Ma-Huan yang melakukan pelayaran ke Asia Tenggara bersama Laksamana Cheng-Ho menyatakan bahwa sekitar 1400 M telah banyak pedagang Islam yang tinggal di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Mereka melakukan perdagangan dengan para pedagang Cina, India, dan Indonesia lainnya.


Share on Google Plus

About Sejarah Islam