Kesultanan Mataram Islam

a. Letak Geografis dan Sumber Sejarah 

Kerajaan Mataram merupakan kerajaan yang bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu. Kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan Keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu dan Buddha, dan Islam. 


Banyak versi yang menyebutkan mengenai awal berdirinya Kesultanan Mataram, Pada umumnya, versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan, Sultan Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa terhadap Pajang, yaitu kakak beradik, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Ageng Penjawi. Oleh Sultan Pajang, Ki Ageng Pemanahan ditempatkan di Mataram, sedangkan Ki Penjawi di Pati. Akhirnya, kerajaan tersebut masing-masing berkembang bahkan kelak bersaing, termasuk menentang Pajang sebagai pendahulunya. 




Di daerah baru tersebut, Pemanahan kemudian mendirikan keraton pada 1578. Kota Gede dipilih sebagai ibu kota Mataram. Setelah Pemanahan meninggal, anaknya, Senopati, menggantikannya. Senopati yang menggantikan ayahnya, meletakkan dasar-dasar pemerintahan Mataram sebagai kerajaan pedalaman yang sering dikaitkan dengan Majapahit, Menurut salah satu versi, dia dianggap sebagai pendiri Kerajaan Mataram yang sebenarnya. 

b. Kehidupan Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya 


Kehidupan politik Mataram ditandai dengan perebutan kekuasaan serta upaya perluasan wilayah. Sejak pemerintahan Senopati dan pengganti-penggantinya sampai Sultan Agung (1613-1645), ekspansi wilayah kekuasaan terus dilakukan. Politik tersebut direalisasikan dengan penaklukan kadipaten, baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman. Saingan-saingannya seperti orang-orang Portugis dan kekuatan Belanda (VOC) diserangnya, walaupun gagal. Sultan-sultan sesudah Sultan Agung tidak konsisten dalam menjalankan kebijaksanaan yang dirintis pendahulunya dalam perluasan wilayah, bahkan sering bekerja sama dengan musuh, yaitu VOC. 


Keraton Yogyakarta

Sampai berakhirnya pemerintahan Sultan Agung (1645), wilayah kekuasaan Mataram membentang dari Jawa Timur ke Jawa Barat bagian timur termasuk Cirebon dan Galuh. Cita-citanya untuk menyatukan seluruh Jawa tidak berhasil. Di sebelah barat, Kesultanan Banten tidak berhasil ditaklukkannya. Bahkan, kerajaan ini menampung pelarian politik dari Mataram yang tidak menyukai Sultan Agung. Serangannya ke Batavia untuk mengusir kekuatan VOC yang dilakukannya pada 1628-1629 tidak berhasil karena persediaan logistiknya diketahui VOC dan berhasil dihancurkan. 


Gagal mengusir Belanda dari Jawa, Sultan Agung masih merasa puas karena wilayah kekuasaannya cukup luas, dan saingan utamanya di Jawa seperti Pajang, Pati, dan Surabaya berhasil ditaklukkan. Sebagian sejarawan mengatakan bahwa masa pemerintahan Sultan Agung merupakan masa keemasan Kesultanan Mataram, 


1) Disintegrasi 


Usaha perebutan hegemoni politik di Jawa yang dilakukan sultan-sultan Mataram ternyata berpengaruh terhadap kondisi politik dan sosial ekonomi penduduknya. Peperangan yang terus-menerus bukan hanya menguras sumber daya alam dan manusia, melainkan juga menimbulkan ketegangan politik dalam kerajaan serta disintegrasi. Upaya pemisahan diri dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil yang pernah ditaklukkannya, ternyata tidak bisa diatasi Sultan Agung dan para penggantinya. Pemberontakan Pemberontakan tersebut adalah sebagai berikut. 

  1. Pemberontakan Pati pada 1627, pertentangan antara penguasa pesisir (Pati) dan pedalaman (Mataram). 
  2. Perlawanan Panembahan Giri yang memiliki pengaruh luas di Maluku, Banda, dan Ambon, tidak menyukai gaya pemerintahan Sultan Agung yang pemerintahan politiknya banyak menguras tenaga rakyat. Panembahan Giri mendapat dukungan moral dari Sunan Giri yang berperan sebagai pemimpin kharismatik di pesisir utara Jawa. 
  3. Pemberontakan di Sumedang dan Ukur yang terjadi pada 1628, merupakan reaksi atas kegagalan Mataram menaklukkan Batavia. 


2) Timbulnya Kemiskinan Rakyat Mataram 


Kehidupan ekonomi mengalami kemunduran akibat peperangan. Demikian juga jumlah penduduk di pedalaman mengalami penurunan. Sementara yang masih bertahan hidup mengalami kemiskinan dan kelaparan serta kegelisahan sosial. Mengenai kemunduran kondisi sosial ekonomi, sejarawan Sartono Kartodirdjo (1987) memberi gambaran sebagai berikut: 


“Kecuali meningkatnya kriminalitas dan perbanditan, juga sangat mencolok adanya banyak pengemis dan gelandangan, pendeknya orang orang kehilangan akar, dienyahkan dari kampung halamannya atau melarikan diri untuk menghindari cengkraman alat-alat kerajaan yang memaksa penduduk masuk pasukan atau dipekerjakan sebagai setengah budak. Diberitakan bahwa ada 27 desa yang secara terbuka menentang Sultan, para pemberontak ditawan dan digiring ke nagari”. 


3) Timbulnya Campur Tangan Asing 


Akibat persaingan politik di dalam negeri dan gagalnya dalam melaksanakan politik luar negeri, pihak asing (Belanda) ikut campur dalam urusan Mataram. Pengganti Sultan Agung ternyata tidak siap menghadapi disintegrasi dan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki kondisi buruk sosial ekonomi rakyatnya. 


Untuk mengatasi pemberontakan daerah, pengganti Sultan Agung, yaitu Amangkurat 1 dan pengganti-pengganti selanjutnya, bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Tentu saja kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda yang memang berambisi untuk menguasai tanah subur Jawa, Melalui taktik politiknya, Belanda berhasil memecah belah Mataram sampai menjadi kerajaan kecil yang wilayahnya hanya berpusat di Jawa Tengah. Dalam Perjanjian Giyanti (1755), wilayah Mataram kembali dibagi menjadi dua wilayah kesultanan, yaitu: 

  1. Daerah Kesultanan Yogyakarta yang kemudian disebut Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Mangkubumi sebagai Sultannya dan bergelar Hamengkubuwono I.
  2. Daerah Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Susuhunan Pakubuwono III.

Keraton Surakarta


Pada 1757, dalam Perjanjian Salatiga wilayah bekas Mataram pecah menjadi tiga, yaitu Kasunanan Surakarta dengan rajanya Pakubuwono III, Mangkunegaran dengan rajanya Mangkunegoro I, dan Kesultanan Yogyakarta dengan rajanya Hamengkubuwono I. Pada masa kekuasaan Inggris, sekitar 1813, wilayah Kesultanan Yogyakarta terpecah menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Oleh karena itu, sejak 1813, wilayah bekas Mataram terpecah menjadi empat bagian, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta, dan Pakualaman Yogyakarta.


Dalam aspek ekonomi, sektor agraria merupakan kegiatan utama ekonomi penduduk selain perdagangan di pesisir utara Jawa. Sektor ekonomi terakhir ini sering tidak bisa dikontrol oleh penguasa Jawa di pedalaman, Dasar-dasar sebagai negara agraris sudah dirintis oleh Senopati dan diteruskan oleh pengganti-penggantinya, walaupun setelah berakhirnya peperangan pada akhir kekuasaan Sultan Agung sektor ini mengalami kemunduran, 


Ciri lain dalam kehidupan ekonomi Mataram adalah keterlibatan sultan dalam kegiatan ekonomi perdagangan. Sebagai contoh, Sultan Agung sebagai sultan menguasai dan memonopoli perdagangan beras. Dalam kegiatan bisnisnya, sultan sering merasa tersaingi oleh para pedagang pesisir utara. Pelabuhan-pelabuhan pesisir utara yang tidak setia kepada Mataram diserang, sedangkan para pedagang diikat dalam kegiatan bisnis kasultanan. Kerja sama antara sultan dan para pedagang yang berbentuk kolusi sangat menguntungkan kesultanan. Para kerabat sultan juga memiliki kegiatan ekonomi tersendiri di daerah tertentu yang bisa dieksploitasi sumber daya ekonominya. 


Sultan-sultan Mataram pengganti Sultan Agung tidak terlibat langsung dalam kegiatan dagang sebab kekayaan mereka lebih banyak diperoleh dari hasil upeti dan tanah yang digarap para petani. Bagi keluarga sultan dan para bangsawan serta priyayi keraton, profesi pedagang merupakan pekerjaan yang tidak terhormat. Mereka menghindari profesi tersebut. Cara pandang seperti itu kemungkinan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu yang menempatkan pedagang dalam kasta yang rendah. Dengan demikian, sektor agraria merupakan sumber penghasilan utama keluarga sultan. 


Salah satu ciri kehidupan sosial Kesultanan Mataram adalah feodalisme yang lahir bersamaan dengan tumbuhnya kesultanan yang bersifat agraris. Lahirnya feodalisme di Mataram berkaitan dengan usaha kesultanan dan kerabar sultan dalam mengembangkan sektor agraria. Orang-orang yang berjasa kepada kesultanan serta berhasil dalam memimpin perluasan lahan garapan diberi imbalan berupa tanah garapan. Begitu juga dengan golongan bangsawan, priyayi, dan kerabat keluarga sultan diberi daerah tertentu yang bisa digarap oleh penduduk yang mendiaminya. 


Kadipaten Puro Pakualam

Sistem seperti itu berpengaruh terhadap lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa, Seorang yang memiliki tanah di daerah tertentu merasa berkuasa atas tanah dan penduduk yang mendiaminya. Pemilik tanah berperan sebagai patron dan penggarap sebagai client. Ikatan di antara keduanya berupa patron and client relationship, atau hubungan timbal-balik antara patron (pemilik, penguasa atau pemimpin) dengan client (petani, penggarap atau rakyat biasa).


Kebesaran Sultan yang berada di puncak hierarki masyarakat feodal dapar dilihat dari bangunan keratonnya. Keraton Mataram yang dibangun Sultan Agung pada 1614 dan 1625 di Karta dan Sitihinggil (Yogyakarta) yang dibangun oleh Mangkubumi pada 1756, yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam memiliki fungsi untuk melambangkan status sultan. 


Mengenai fungsi Keraton Mataram sebagai simbol kebesaran dan kekeramatan, Sartono Kartodirdjo (1987) menjelaskan: “keraton perlu memberi pemandangan yang mengagungkan dan mencerminkan kebesaran sehingga lewat kesan-kesan itu tercipta suasana keagungan dan kekeramatan, suatu cara efektif untuk mempengaruhi baik rakyat maupun pihak-pihak luar. Bangunan-bangunan itu berfungsi simbolis untuk memantapkan legitimasi kedudukan sultan, Segala benda-benda di sekeliling sultan, upacara perayaan-perayaan, kecuali mempunyai fungsi sakral-magis juga turut menambah menyemarakkan suasana kesultanan dengan segala keagungannya.” 


Selain sebagai simbol kebesaran sultan, Keraton Mataram juga berfungsi sebagai pusat kebudayaan Jawa sehingga aspek kehidupan budaya berpusat di sekitar keraton. Karya-karya budaya, seperti seni tari, seni pahat, seni suara, seni sastra, dan seni pertunjukan berkaitan dengan kehidupan keraton dan memiliki simbol-simbol dan makna-makna tertentu. Hasil seni-seni tersebut memiliki makna magis yang sering digunakan untuk melengkapi upacara keraton, baik yang bersifat ritual maupun kenegaraan. 


Dalam aspek kepercayaan, terjadi akulturasi antara kebudayaan Indonesia pra-Hindu, kebudayaan Hindu-Buddha, dan Islam. Kebudayaan kejawen yang dianut sebagian masyarakat Jawa bersumber dari hasil akulturasi unsur-unsur budaya tersebut. Upacara-upacara tradisi Hindu zaman Majapahit, seperti upacara grebeg, dilakukan pada hari-hari menurut penanggalan kalender Islam sehingga terdapat Grebeg Syawal dan Grebeg Maulid. Tradisi seperti itu tetap dipertahankan sampai sekarang.


Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan Kesultanan Mataram Islam dipengaruhi oleh aspek kehidupan agraris sebagai negara pedalaman. Berbeda dengan Kesultanan Islam lainnya yang lebih memiliki ciri maritim, ketika aspek perdagangan sangat menonjol, Kesultanan Mataram Islam memiliki ciri khas yang berbeda. Kebudayaan Jawa yang berkembang sekarang sebagian bersumber pada kehidupan Keraton Mataram.


Keraton Mangkunegaran

Share on Google Plus

About Sejarah Islam