a. Letak Geografis dan Sumber Sejarah
Menurut cerita di Banten, pendiri Kesultanan Banten adalah Hasanuddin, bukan Sunan Gunung Jati. Menurut versi tersebut, Sunan Gunung Jati tidak sempat membentuk pemerintahan Banten ketika pindah ke Cirebon. Putranya, Hasanuddin, yang memulai pemerintahan di Banten setelah diberi mandat atau wewenang oleh ayahnya untuk membentuk pemerintahan di kota pelabuhan Pajajaran tersebut. Sunan Gunung Jati dianggap sebagai peletak dasar berdirinya satu kekuatan politik Islam di Banten, sedangkan Hasanuddin adalah yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan di kerajaan tersebut.
Seperti halnya ayahnya, Hasanuddin memiliki hubungan keluarga dengan sultan Demak melalui perkawinan, Namun, perkawinan Hasanuddin dengan putri Sultan Trenggono berpengaruh pada perkembangan politik di Banten selanjutnya. Dari perkawinan tersebut, Hasanuddin mempunyai dua orang anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Jepara. Anak kedua diberi nama Pangeran Jepara karena dia diangkat menjadi penguasa Jepara setelah menikah dengan anak Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara. Adapun Maulana Yusuf sebagai anak pertama . menggantikan ayahnya pada 1570 sebagai Sultan Banten.
Setelah Maulana Yusuf meninggal pada 1580, terjadi perebutan takhta kerajaan antara anak Maulana Yusuf, Maulana Muhammad yang masih muda dan pamannya, Pangeran Jepara. Pangeran Jepara merasa berhak atas takhta Banten dan berpandangan bahwa anak Maulana Yusuf belum waktunya untuk naik takhta karena masih terlalu muda. Untuk merebut takhta tersebut, Jepara menyerang Banten. Akan tetapi, usaha ini dapat digagalkan oleh pasukan Banten yang didukung oleh para ulama Banten. Dari kegagalan serangan tersebut, Banten dan Cirebon berhasil melepaskan diri dari pengaruh sultan-sultan Jawa dan berdiri sebagai kesultanan yang berdaulat.
b. Kehidupan Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya
Kehidupan politik pemerintahan Banten ditandai dengan adanya konsolidasi pemerintahan terutama pada masa awal berdirinya kerajaan ini. Pada masa selanjutnya ditandai adanya perluasan wilayah serta perebutan kekuasaan di Selat Sunda dan Laut Jawa dengan Mataram, bangsa Portugis, dan Belanda (VOC).
Di bawah pemerintahan Maulana Yusuf, wilayah Banten diperluas ke hampir seluruh wilayah Jawa Barat dengan cara menaklukkan sisa sisa Kerajaan Sunda Pajajaran. Setelah merebut kota pelabuhan Sunda Kelapa, Maulana Yusuf merebut ibu kota Pakuan Pajajaran pada 1579.
Ekspansi ke Sumatera bagian selatan dilakukan oleh Maulana Muhammad dan berhasil menguasai sumber penghasil lada di Lampung, tetapi pelabuhan strategis Palembang gagal direbut. Pada penyerangan ini, Maulana Muhammad tewas. Usaha untuk mengalahkan orang-orang : Portugis yang dilakukan oleh sultan-sultan berikutnya juga tidak berhasil. Begitu pula usaha yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) juga mengalami kegagalan. Perserikatan dagang Belanda, VOC, tetap berdiri dan menguasai perdagangan di Laut Jawa.
Sejarah Banten mencatat bahwa pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengalami masa kejayaan yang ditandai dengan berkembangnya perekonomian di bidang perdagangan. Para pedagang Banten masih dapat bersaing dengan pedagang Belanda. Berkembangnya Banten sebagai kerajaan dagang, didukung beberapa faktor sebagai berikut,
1) Faktor Geografis
Posisi pelabuhan Banten sangat strategis berhadapan langsung dengan jalur perdagangan yang ramai, yaitu Selat Sunda dan Laut Jawa. Tanah pedalamannya yang subur menghasilkan lada, dan beras.
2) Faktor Politis
Jatuhnya Malaka ke tangan orang-orang Portugis pada 1511 dan pergolakan politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur menambah ramainya Pelabuhan Banten. Banyak pedagang Melayu memilih Banten sebagai tempat transit barang dagangan mereka sebelum diekspor ke tempat tujuan. Keramaian tersebut semakin bertambah setelah banyaknya pelarian dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tidak mau mengakui kedaulatan Mataram.
3) Faktor Kultural
Dengan semakin banyaknya pedagang yang berlabuh di Banten serta pelarian politik dari daerah lain, terjadilah pertukaran budaya di antara mereka. Akibatnya, terjadi perpindahan pengalaman berdagang dari para pedagang kepada orang yang ingin berdagang. Akibat positifnya adalah lahirnya pedagang baru di Pelabuhan Banten yang menambah keramaian pelabuhan tersebut.
Kedatangan dan bermukimnya para pedagang dari berbagai bangsa berpengaruh kepada pola hubungan sosial masyarakat Banten. Mereka membentuk pola permukiman sendiri yang dihuni oleh etnis yang sama. Misalnya, Kampung Cina, Kampung Keling (yang khusus dihuni orang orang India), Kampung Pecinan, Kampung Banda, dan Kampung Melayu.
Walaupun pola permukiman pedagang tersebut tampak eksklusif, hubungan antar etnis di kampung-kampung tersebut berlangsung baik. Dalam sejarah Banten tidak tercatat adanya konflik antar pedagang berdasarkan sentimen kesukuan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sifat pedagang yang egaliter, toleran, dan terbuka pada perbedaan pandangan budaya golongan lain, hidup berdampingan dan saling belajar satu sama lain serta menghargai kekhasan budaya lainnya.
Selain kebudayaan Jawa, kebudayaan Islam juga cukup berpengaruh dalam membentuk kebudayaan Banten. Sikap sultan-sultan Banten yang cukup tegas dalam menentang pengaruh Hindu Pajajaran berpengaruh positif terhadap pembentukan corak kebudayaan Islam pada masyarakat Banten. Hal ini berbeda dengan kebudayaan Islam di Jawa, terutama pada masa Mataram, ketika sultan-sultan Jawa hanya menentang penguasa Hindu dan bukan kebudayaannya. Bahkan, pemerintahannya banyak mengadopsi kebudayaan Hindu, Namun, dalam karya budaya yang bersifat fisik orang-orang Banten “tidak bisa menghindar” dari pengaruh Hindu Jawa seperti tampak pada bangunan masjid dan Keraton Banten.