Kesultanan Makassar

a. Letak Geografis dan Sumber Sejarah 

Kesultanan Makassar merupakan salah satu dari sekian banyak kerajaan yang berkembang di Pulau Sulawesi. Pada abad ke-16 terdapat Kerajaan Luwu dan Goa yang berdiri abad sebelumnya, Wajo, Soppeng, Tallo, dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut terdapat persaingan perebutan hegemoni di Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia bagian timur. Dua kerajaan yang berhasil memenangkan persaingan tersebut adalah Goa dan Tallo, yang kemudian lebih dikenal dengan Kesultanan Makassar dengan ibu kota di sekitar Makassar,


Kesultanan Makassar, menjadi yang terkuat di antara pesaing pesaingnya, selalu mendapat perlawanan dari Kerajaan Bone. Persaingan antara Gowa-Tallo (Makassar) dan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang Makassar (16601669). Belanda yang berambisi memonopoli perdagangan rempah rempah di Pelabuhan Makassar berpihak pada Bone, sebagai musuh Makassar. Dalam perang itu, sultan Makassar, Sultan Hasanuddin (1653-1669), yang membawa kesultanan ini ke puncak kejayaan, tidak berhasil mematahkan ambisi Belanda menguasai Makassar. Menghadapi dua musuh besar, Belanda dan Bone serta para penentang di dalam negeri, Makassar harus tunduk pada Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya dipaksakan oleh Belanda. 



Dengan perjanjian tersebut, Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar dan mendirikan benteng pertahanan di kota dagang tersebut, sedangkan Makassar harus melepaskan daerah kekuasaannya berupa daerah di luar Makassar. 

b. Kehidupan Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya 


Seperti kerajaan kerajaan Islam lainnya di luar Jawa, kesultanan Makassar menggantungkan kehidupan ekonominya pada perdagangan antarpulau. Akan tetapi, sangat berbeda dengan Kesultanan Mataram di Jawa, Kesultanan Makassar di Sulawesi Selatan mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang karena lemahnya pengaruh Hindu Buddha di kawasan ini. 


Walaupun secara politis Makassar dikuasai Belanda dan perdagangan rempah rempah dimonopoli VOC, para pedagang Makassar terus bertahan dalam kegiatan ekonomi dagangnya. Tradisi berlayar dan menyeberang lautan yang diwarisi nenek moyang mereka tetap dipertahankan sehingga merupakan ciri kebudayaannya yang tetap bertahan sampai sekarang. 


Kehidupan sosial yang paling menonjol pada masyarakat Makassar adalah tradisi merantau. Keterampilan dalam pembuatan perahu pinisi merupakan salah satu aspek dari kebudayaan berlayar. Para pelaut Sulawesi Selatan yang menggunakan perahu pinisi bukan hanya mampu menyeberang ke seluruh Indonesia, melainkan juga ke wilayah luar Indonesia, seperti wilayah Pasifik Barat Daya, Filipina Selatan, Sri Lanka, Islam ternyata telah memperkuat tradisi berlayar dan berdagang yang telah mereka miliki sebelumnya. Mudah dimengerti jika dari daerah Sulawesi Selatan dewasa ini lahir pedagang dan pengusaha besar di Indonesia yang memiliki jaringan bisnis bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di kawasan Asia Tenggara dan Australia.


1) Menentang Penjajahan Belanda 


Politik luar negeri yang dijalankan oleh Kesultanan Makassar diwujudkan dalam sikapnya menentang Belanda. Walaupun gagal dalam mengusir Belanda dari perairan Makassar, para pejuang Makassar terus menentang dominasi Belanda di perairan Indonesia. Setelah perang Makassar berakhir, banyak orang Makassar yang melarikan diri ke Jawa terutama Banten, Madura, Gresik, dan Jepara, Di daerah-daerah tersebut mereka membantu perjuangan rakyat setempat mengusir Belanda. 


Walaupun kehadiran mereka di tempat-tempat baru tersebut tidak selalu disambut oleh penguasa politik setempat, sikap politik penentangan terhadap Belanda dan perlawanan yang dilakukan di daerah lain merupakan realisasi dari patriotisme mereka dan budaya merantaunya. Mereka berpandangan bahwa mengusir penguasa asing dari Indonesia tidak harus dilakukan di tempat kerajaannya, tetapi di kerajaan lain yang memiliki pandangan politik yang sama. 


2) Hubungan Diplomatik 


Tindakan politik pemerintahan Makassar merupakan realisasi dari budaya dagangnya. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin (15911638) diadakan hubungan dagang dan politik dengan Kerajaan Sulu dan Mindanao di Filipina Selatan, sedangkan dengan Aceh, Banjarmasin, Banten, dan Mataram dijalin hubungan diplomatik. Dengan kerajaan terakhir ini diwujudkan dalam bentuk perkawinan salah seorang Sultan Gowa dengan seorang putri Mataram. 


Adapun hubungan politik dengan kesultanan Sultan Rum (Turki) dan Sultan Moghul India menunjukkan luasnya hubungan Kesultanan Makassar tersebut. Oleh karena budaya dagang, para pedagang Portugis, Prancis, Denmark, Belanda, dan pedagang-pedagang lainnya dibiarkan berdagang secara bebas dan bersaing secara terbuka di perairan Makassar. Walaupun akhirnya sikap bebas tersebut disalahgunakan oleh VOC yang ingin memonopoli semua kegiatan dagang di wilayah ini.


Share on Google Plus

About Sejarah Islam