Kesultanan Aceh

a. Letak Geografis dan Sumber Sejarah 

Awal berdiri dan tumbuhnya Kesultanan Islam Aceh berkaitan dengan keruntuhan Kesultanan Malaka. Setelah Malaka jatuh pada 1511, banyak orang Melayu di Malaka yang menyeberang Selat Malaka dan bermukim di Aceh. Peran Malaka sebagai pusat perdagangan internasional di kawasan Selat Malaka digantikan oleh Aceh selama beberapa abad. 


Menurut sejarah Melayu, sultan pertama ialah Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1528). Kesultanan ini berkembang selama empat abad sampah Belanda mengalahkannya dalam Perang Aceh (1873-1912).

b. Kehidupan Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya 


Kehidupan politik masa awal berdirinya Kesultanan Islam Aceh ditandai dengan merebut hegemoni di Selat Malaka dari kekuasaan bangsa Portugis dan Kesultanan Johor, Untuk merebut hegemoni tersebut, beberapa kerajaan kecil di Sumatra ditaklukkannya, seperti Daya, Pasai, Siak, dan Aru di pantai timur Sumatera. 


Pada 1564, Sultan Alauddin al-Kahar (1537-1568) menyerang Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor yang kemudian dibawanya ke Aceh. Namun, Johor tetap berdiri sebagai kesultanan dan tetap menentang Aceh. Serangan berikutnya dilakukan ke Malaka oleh Sultan Aru (yang berada di bawah Aceh). Namun, usaha ini gagal setelah Sultan Aru bernama Abdullah gugur. Serangan-serangan berikutnya dilakukan pada 1537 di bawah pimpinan Sultan Alaudin Riayat Syah, tetapi tidak berhasil merebut Malaka. 


Gagal merebut Malaka, Kesultanan Aceh meluaskan wilayahnya ke Sumatera bagian tengah dan selatan, serta kesultanan-kesultanan di Semenanjung Malaka (kecuali Pelabuhan Malaka). Kesultanan Kesultanan di Sumatera, seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, dan Minangkabau ditaklukkannya. Begitu juga kesultanan kesultanan di Semenanjung Malaka, seperti Perak dan Pahang (1618). 


Usaha perluasan wilayah tersebut terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di dalam sejarah dianggap sebagai sultan yang membawa Aceh pada puncak kejayaannya. Sultan ini masih mencoba menyerang Malaka pada 1615 dan 1623, tetapi tetap mengalami kegagalan. Pada masa tersebut, perdagangan di Selat Malaka berkembang pesat dan Aceh memiliki hegemoni atas selat yang sangat strategis tersebut, walaupun Pelabuhan Malaka gagal dikuasainya. Perluasan wilayah juga dilakukan penggantinya, Sultan Thani (1636—1641). 


Untuk memajukan kegiatan ekonomi, Iskandar Muda berusaha mengembangkan tanaman lada sebagai komoditas dagang utama. Agar harga lada di Aceh tetap tinggi, maka kebun-kebun lada di Kedah dibabat, sedangkan kebun lada di Aceh dipelihara. Dengan cara itu, pedagang pedagang dari Barat hanya dapat membeli lada dari Aceh. Monopoli seperti itu menyebabkan Aceh memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Keuntungan juga diperoleh dari bea cukai terhadap barang yang keluar-masuk pelabuhan. 


Lokasi pelabuhan-pelabuhan Aceh yang strategis telah menarik pedagang dari barat dan timur, seperti pedagang Benggala yang membawa sapi, bahan tenun, dan candu. Pedagang Pegu, Calicut, Koromandel, dan Gujarat yang membawa bahan tenun dan pedagang Eropa yang membawa minyak wangi serta pedagang Cina dan Jepang yang membawa porselin dan sutra. Selain Jada, dari Aceh diekspor komoditi, seperti beras, timah, emas, perak, dan rempah-rempah. Barang-barang tersebut tidak semuanya berasal dari Aceh, tetapi dari pelabuhan lain di Indonesia yang singgah di pelabuhan Aceh. 


Untuk menjamin terpeliharanya perdagangan, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan kesultanan-kesultanan lain, baik di Barat maupun di Timur. Aceh mengadakan pertukaran diplomat dan kerja sama ekonomi dengan Kesultanan Turki sejak 1582. Setelah itu berturut turut diadakan hubungan politik dengan Prancis, Inggris, dan Belanda, Utusan Belanda datang ke Aceh pada 1602 dan 1620 untuk memperoleh izin berlayar bagi kapal-kapalnya. Adapun dengan Inggris diperoleh kesepakatan bahwa para pedagang Inggris mendapat konsesi berdagang di Aceh. Menurut Hikayat Aceh, diadakan perjanjian politik dan dagang dengan Kamboja, Champa, Chiangmai, Lamer, Pashula, dan Cina. 



Ciri yang menonjol dari Kesultanan Aceh tercermin dalam kehidupan agama Islam. Sultan-sultan Aceh sangat menaruh perhatian pada kehidupan agama. Misalnya, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dibangun masjid besar di Aceh yang diberi nama Masjid Raya Baiturrahman. Pada masa penggantinya, Sultan Thani, dibangun Masjid Baitul Masjid. Kedua sultan ini selalu mengajak rakyatnya salat berjamaah di masjid, menegakkan agama Islam, dan menjauhi larangan-larangan Islam, seperti berjudi, mabuk, dan minuman keras. Bentuk arsitektur masjid yang dibangun di Aceh pada masa kedua sultan tersebut menunjukkan kebesaran kebudayaan Islam pada waktu itu dan menunjukkan keinginan penganutnya mengembangkan ajaran Islam. 


Dalam pelaksanaan kehidupan beragama, rakyat Aceh mendapat pengaruh dari ajaran sufi dan tasawuf. Ahli tasawuf yang sangat menonjol waktu itu ialah Hamzah Fansuri yang pernah mengembara ke Pahang, Banten, Kudus, Muangthai (sekarang Thailand), dan Makkah. Ulama ini memiliki murid bernama Syamsuddin as-Samatrani, yang juga mengembangkan ajaran tasawuf. Ulama tasawuf lainnya ialah Syekh Ibrahim as Syami dan Abdurrauf dari Singkel. Nama terakhir ini merupakan ulama yang memiliki pengaruh atas ajaran tasawuf di Jawa.


Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, ajaran tasawuf dan pengikutnya ditekan karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sultan Ini lebih memilih ajaran Islam yang murni yang dikembangkan ulama terkenal waktu Itu, yaitu Nuruddin ar Raniri. Usaha menekan penganut tasawuf tidak berhasil sepenuhnya karena pada masa pengganti Iskandar Thani, ahli tasawuf Abdurrauf dari Singkel mendapat perlindungan dari Sultan Tadjal Alam. Semakin meningkatnya hubungan antara Aceh dan negeri negeri Arab, semakin meningkat pada pengaruh ajaran Islam dari Timur Tengah terhadap kehidupan agama di Aceh.


Share on Google Plus

About Sejarah Islam