Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara meninggalkan warisan sejarah yang sangat berharga. Peninggalan tersebut merupakan hasil dari proses belajar masyarakat Islam Nusantara pada masa kejayaannya, baik hasil perpaduan antara kebudayaan asing dan kebudayaan setempat maupun yang digali dari masyarakat Nusantara sendiri.
1. Bidang Agama
Agama Islam adalah agama yang merakyat di antara para pedagang di Sumatra dan Jawa selama beberapa waktu. Para penduduk Pulau Jawa kebanyakan baru memeluk agama Islam di awal tahun 1500-an. Seterusnya agama Islam disebarkan oleh Wali Songo, yaitu sembilan Ulama besar Islam di Jawa, Beberapa dari Wali Songo tersebut telah memberikan peranan yang besar dalam penyebaran agama Islam di antara akhir 1400-an sampai pertengahan 1500-an
Agama Islam akhirnya berhasil menjadi agama mayoritas menggantikan agama lain (agama Hindu dan agama Buddha) yang saat itu sangat dominan di Indonesia. Dengan kata lain agama Islam yang masuk ke Indonesia telah memberikan warna baru dalam sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam bidang religi (agama).
2. Bidang Bahasa
Bahasa Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Namun, tentunya ketika melihat sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tidaklah mungkin bahwa bahasa Indonesia dengan sendirinya ada dan diproklamasikan begitu saja pada kongres pemuda.
Melihat dari penduduk Indonesia yang beragam suku bangsa seperti Arab, Cina, Eropa, Melayu, dan lain-lain dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pembentukan bahasa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh asing yang dibawa oleh para imigran. Salah satunya adalah pengaruh kebudayaan Islam pada bahasa Indonesia.
Salah satu unsurnya adalah semakin banyaknya perbendaharaan kata yang merupakan kata serapan dari bahasa yang dominan dalam Islam, yaitu Arab. Kata-kata serapan itu misalnya masjid, shalat (salat), khitan, atau zakat. Pada saat itu, istilah semacam itu belum ada di Nusantara sehingga dengan mudah diterima dan diserap
3. Bidang Kebudayaan
Islam di Indonesia hadir pada abad ke-11, ketika saat itu Indonesia masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha. Salah satu penyebar terbesar di bagian Jawa adalah Wali Songo yang menggunakan kebudayaan yang sudah ada di Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Salah satunya adalah pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya.
Biasanya, cerita yang diambil sebagai bahan dakwahnya adalah dari kisah Mahabarata dan Ramayana yang berkembang di Indonesia saat itu. Penyebaran Islam dengan media ini lebih mengena terhadap masyarakat Indonesia. Di samping fleksibel dan bebas, berbeda dengan agama Hindu dan Buddha penyebarannya sangat ketat dan terkontrol.
4. Sistem Pemerintahan
Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, di Indonesia sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu maupun Buddha. Pemerintahan Hindu atau Buddha inilah yang saat itu menjadi sistem pemerintahan yang dominan di Indonesia, di mana pemerintahannya berupa kerajaan dan kepala pemerintahan merupakan seseorang bergelar raja.
Setelah agama Islam masuk, kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha mengalami keruntuhan dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya. Dalam sistem pemerintahan yang bercorak Islam tersebut, rajanya bergelar sunan atau sultan. Seperti halnya para wali jika rajanya meninggal tidak lagi dicandi/dicandikan (disemayamkan), tetapi dimakamkan secara Islam.
5. Sistem Penanggalan
Agama Islam di Indonesia telah memberikan efek yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, yaitu dengan munculnya sistem penanggalan yang terbilang baru bagi bangsa Indonesia, yaitu sistem penanggalan Hijriah.
Tahun dalam penanggalan Islam atau Hijriah diawali dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Di antaranya terdapat bulan Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, dan Dzulkodah.
Perbedaan antara kalender Hijriah dengan kalender Masehi ini bukan karena jumlah bulan yang berbeda antara penanggalan Islam dengan penanggalan sehari-hari. Pada prinsipnya jumlah bulan dalam kedua sistem penanggalan adalah sama. Keduanya memiliki dua belas bulan dalam satu tahunnya. Tahun dalam kalender yang digunakan sehari-hari atau penanggalan Masehi diawali dengan Januari dan berakhir dengan Desember.
Pada penanggalan Islam pergantian bulan barunya adalah berdasarkan pada penampakan hilal, yaitu bulan sabit terkecil yang dapat diamati dengan mata telanjang. Hal ini tidak lain disebabkan penanggalan Islam adalah penanggalan yang murni berdasarkan pada siklus sinodis bulan dalam sistem penanggalannya (lunar calendar), yaitu siklus dua fase bulan yang sama secara berurutan.
Satu bulan dalam sistem penanggalan Islam terdiri antara 29 dan 30 hari, sesuai dengan rata-rata siklus fase sinodis Bulan 29,53 hari. Satu tahun dalam kalender Islam adalah 12 x siklus sinodis bulan, yaitu 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik. Itulah sebabnya, kalender Islam lebih pendek sekitar sebelas hari dibandingkan dengan kalender Masehi dan kalender lainnya yang berdasarkan pada pergerakan semu tahunan matahari (solar calendar). Karena ini pula bulan-bulan dalam sistem penanggalan Islam tidak selalu datang pada musim yang sama.
6. Arsitektur
Dalam bidang arsitektur atau seni bangun, peninggalan yang sangat berharga, yaitu arsitektur bangunan masjid yang merupakan perpaduan antara seni bangun dari berbagai kawasan dunia Islam dan kebudayaan setempat. Para penyebar Islam belajar mengenai kebudayaan Nusantara dan berupaya melakukan perpaduan antara berbagai unsur budaya. Tujuannya, untuk menghindari perpecahan antar golongan dalam masyarakat Nusantara.
Bangunan Menara Kudus, Masjid Agung Banten, dan Masjid Agung Cirebon merupakan beberapa contoh arsitektur Islam yang mengadopsi kebudayaan sebelumnya (Hindu). Contoh lainnya, bentuk bangunan gerbang Masjid Sumenep yang mengadopsi gaya Portugis. Adapun gaya India dan Eropa tampak pada arsitektur Masjid Penyengat dan Masjid Baiturrahman.
7. Kaligrafi
Seni kaligrafi telah dikenal oleh masyarakat Nusantara sejak awal pertumbuhan Islam. Seni kaligrafi erat kaitannya dengan seni pahat. Seni pahat sebenarnya telah lama berkembang di Nusantara, yaitu sejak zaman Hindu dan Buddha. Masuknya kaligrafi ke dalam seni pahat memperkaya seni kaligrafi Nusantara.
Kaligrafi (tulisan Arab indah) merupakan salah satu alat pengajaran jendela masjid, Seni kaligrafi juga tampak pada batu nisan yang disebut Jirat atau kijing, Misalnya, pada Makam Siti Fatimah binti Maimun.
Keterangan tersebut diperkuat oleh catatan sejarawan Cina, Ma Huan yang berlayar ke Asia Tenggara bersama Laksamana Cheng Ho. Mereka menyatakan bahwa sekitar 1400 M, telah banyak pedagang Islam yang tinggal di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Mereka melakukan perdagangan dengan para pedagang Cina, India, dan Nusantara lainnya.
Keterangan yang diperoleh dari batu nisan raja-raja Islam menunjukkan adanya pengaruh kebudayaan Gujarat dan Benggala terhadap kebudayaan Islam di Nusantara. Dari bentuk batu serta tulisan dalam batu nisan diperoleh keterangan bahwa pengaruh Gujarat dan Benggala cukup kuat dalam kebudayaan Islam di Nusantara. Bukti tersebut dapat dilihat pada jirat atau batu nisan makam yang ditemukan di Sumatra dan Jawa, seperti peninggalan makam berikut.
Makam Sultan Malik al-Saleh (1297 M) yang dianggap sebagai pendiri Kesultanan Samudra Pasai.
Jirat yang menggunakan ornamen (hiasan) Gujarat yang terdapat pada nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat pada 1419.
Batu nisan atau jirat yang khas Gujarat diperkirakan dibuat pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu di Troloyo dan Trowulan.
8. Seni Sastra
Hasil sastra kebudayaan Islam Nusantara merupakan warisan yang sangat berharga. Warisan tersebut merupakan hasil sintesis budaya dan akulturasi dengan seni sastra dunia Arab dan India. Cerita-cerita dari Persia, seperti Cerita 1001 Malam dan Aladin banyak mempengaruhi karya sastra, terutama yang berkembang di Sumatra. Misalnya, karya sastra Hamzah Fansuri yang berbentuk suluk. Dua karyanya yang terkenal memperlihatkan hasil akulturasi dengan kebudayaan Islam dan kebudayaan setempat seperti syair-syair berikut.
Syair Perahu menggambarkan manusia yang diibaratkan dengan perahu yang mengarungi lautan dengan menghadapi segala macam rintangan. Berbagai rintangan hidup dalam mengarungi lautan tersebut harus diatasi dengan tauhid dan makrifat kepada Tuhan.
Syair Si Burung Pingai menggambarkan seorang manusia sebagai seekor burung yang dianggap sebagai zat Tuhan.
Karya sastra bercorak Islam yang telah berakulturasi dengan tradisi Melayu lainnya dapat dilihat pada beberapa syair, yaitu Syair Panji Sumirang, Cerita Wayang Kinundang, Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Hikayat Panji Wilakusuma, Syair Ken Tambunan, dan Lelakon Mesa Kuminir. Karya-karya sastra tersebut dihasilkan pada masa kesultanan-kesultanan Islam saat mengalami kejayaannya sejak abad ke-16.
Karya sastra Islam juga memiliki corak kebudayaan Jawa dan merupakan bagian dari cara orang meningkatkan keimanannya melalui tasawuf. Karya sastra tersebut, yaitu Suluk Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, serta beberapa hikayat. Hikayat-hikayat tersebut, yaitu Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jawa, Hikayat Sri Rama, Hikayat Maharaja Rahwana, dan Hikayat Pancatantra.