a. Letak Geografis dan Sumber Sejarah
Awal dan tahun berdirinya kesultanan ini tidak diketahui dengan pasti. Sultannya yang pertama bernama Malik Al-Saleh (1290-1297). Beberapa sejarawan mengatakan bahwa naiknya sultan Malik Al-Saleh ke panggung pemerintahan Samudra Pasai dianggap sebagai awal berdirinya kesultanan ini. Setelah sultan ini wafat, pemerintahan dipegang berturut-turut oleh keturunannya, yaitu Sultan Muhammad Malik Al-Thaher (1297-1326), Sultan Ahmad, dan Sultan Zainul Abidin yang tidak diketahui dengan pasti masa pemerintahannya. Diperkirakan kesultanan ini berkembang selama kurang lebih seratus tahun sebelum digantikan peranannya oleh Kesultanan Aceh dan Malaka pada akhir abad ke-14.
Posisi geografis kesultanan ini sangat strategis, yaitu di Lhokseumawe, Aceh Utara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Kondisi tersebut menyebabkan kesultanan ini tumbuh dan berkembang pesat sebagai kesultanan dagang. Posisi kesultanan berada pada jalur perdagangan internasional. Perairan Indonesia, dan Laut Cina Selatan dimanfaatkan oleh kesultanan ini untuk kemajuan ekonomi rakyatnya.
Menurut beberapa sumber sejarah diketahui bahwa banyak pedagang dari berbagai negara berlabuh di Pelabuhan Pasai. Mereka memperdagangkan berbagai barang dagangan yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan jalur dagang tersebut. Pelabuhan Pasai yang sangat strategis dijadikan sebagai tempat untuk transit barang-barang dari berbagai negara sebelum diekspor ke tempat tujuan akhir. Dengan demikian, kesultanan ini mampu memanfaatkan ramainya perdagangan internasional yang dilakukan oleh para pedagang Islam.
b. Kehidupan Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya
Peranan Kerajaan Sriwijaya dalam menguasai perdagangan di Selat Malaka yang runtuh abad ke-13 digantikan oleh Samudra Pasai. Dengan demikian, di bidang politik, kesultanan ini memiliki hegemoni atas pelabuhan-pelabuhan penting di jalur tersebut seperti Pidie, Perlak, dan Pasai. Hubungan dagang dan politik dengan negeri Cina, Gujarat, dan Benggala terpelihara dengan politik dan dagang aras jalur Selat Malaka tanpa harus berkonfrontasi dengan Majapahit. Bagi Samudra Pasai, pengakuan kedaulatan terhadap Majapahit tersebut tidak membahayakannya karena yang lebih penting adalah Samudra Pasai masih memiliki kebebasan untuk mengatur masyarakatnya yang telah beragama Islam yang sebagian besar adalah para pedagang.
Informasi mengenai keadaan masyarakat Samudra Pasai diketahui antara lain dari catatan perjalanan Marcopolo, seorang pengembara dari Venesia, Italia, dalam perjalanan pulang dari Negeri Cina yang singgah di Perlak pada 1292. Informasi lain juga diperoleh dari catatan Ibnu Batutah, seorang Arab, yang singgah di Pasai pada 1326.
Menurut catatan perjalanan mereka, masyarakat Samudra Pasai adalah masyarakat pedagang yang beragama Islam, terutama mereka yang tinggal di pesisir timur Sumatra. Islam yang mereka anut adalah yang bermadzab Syafi'i. Dalam kegiatan dagang, mereka telah menggunakan mara uang emas.
Namun, sebagian penduduknya masih menganut kepercayaan lama terutama yang tinggal di pedalaman. Rupanya pengaruh Islam baru masuk pada masyarakat yang tinggal di pesisir, sedangkan yang di pedalaman masih terus mempertahankan adat istiadat lama pengaruh Hindu dan Buddha,
Menurut catatan, diketahui juga bahwa kesultanan ini menjadi pusat penyebaran agama Islam ke daerah sekitarnya di Sumatra dan Malaka. Orang-orang Pasai yang telah memeluk Islam menjadi golongan yang berperan dalam menyebarkan Islam, selain golongan pedagang dan para ulama setempat.